Sustainability Report: Strategi ESG Beyond Compliance

Beyond Compliance: Mengubah Sustainability Report Jadi Mesin Nilai Perusahaan

strategi sustainability report

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia bisnis dihadapkan pada realitas baru yaitu keberlanjutan bukan lagi pilihan moral, tetapi kewajiban strategis. Laporan keberlanjutan (sustainability report) kini menjadi instrumen penting bagi perusahaan untuk menunjukkan kinerja lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) mereka secara transparan.

Dorongan global terhadap keterbukaan informasi ini tidak muncul secara tiba-tiba. Evolusi regulasi dan standar internasional, mulai dari Global Reporting Initiative (GRI) pada 1997 hingga IFRS S1/S2 oleh International Sustainability Standards Board (ISSB) pada 2023 menandai transformasi pelaporan dari sekadar sukarela menjadi kewajiban. Tren global menunjukkan bahwa pelaporan keberlanjutan perlahan bergeser dari sukarela menjadi kewajiban, seiring meningkatnya tekanan pasar dan regulator di berbagai negara.

Di Indonesia, arah kebijakan serupa tampak jelas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No.51/POJK.03/2017 dan POJK No.17/POJK.03/2023 mewajibkan lembaga jasa keuangan dan perusahaan publik untuk menerapkan keuangan berkelanjutan serta mengungkapkan kinerja ESG secara periodik.

Bagi kalangan eksekutif, hal ini bukan hanya soal kepatuhan. Laporan keberlanjutan kini menjadi mirror of strategy, cerminan sejauh mana perusahaan siap bersaing di masa depan dengan fondasi etika, efisiensi, dan transparansi.

Mengurai Tantangan: Mengapa Membuat Sustainability Report Terasa Rumit

Menyusun laporan keberlanjutan sering dianggap sulit bukan karena isinya terlalu kompleks, tetapi karena sistem dan pemahaman internal yang belum siap. setidaknya ada empat tantangan utama yang sering dihadapi perusahaan.

Pertama, kerumitan standar dan regulasi. Banyak perusahaan kebingungan dalam menavigasi berbagai framework, GRI, SASB, IFRS S1/S2, dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Masing-masing memiliki metodologi dan format berbeda. Kondisi ini seperti bermain teka-teki besar yang aturannya terus berubah sehingga tanpa panduan yang jelas, prosesnya terasa melelahkan.

Kedua, kesulitan menentukan isu material. Tidak semua topik ESG relevan bagi setiap bisnis. Namun banyak perusahaan berakhir membahas semuanya karena takut dianggap tidak transparan. Akibatnya laporan kehilangan fokus dan menjadi terlalu naratif tanpa arah strategis.

Ketiga, keterbatasan data dan sistem pengukuran. Banyak organisasi belum memiliki sistem pelaporan ESG yang terintegrasi. Data sering tersebar di berbagai divisi HR, operasional, keuangan, dan lingkungan tanpa konsistensi atau verifikasi. Akibatnya menulis laporan keberlanjutan terasa seperti “menyusun puzzle tanpa gambar contoh.”

Keempat, narasi yang tidak selaras dengan strategi bisnis. Salah satu kesalahan umum adalah ketika laporan ESG hanya menjabarkan kegiatan tanpa mengaitkannya dengan visi korporasi. Padahal menurut GRI Standards (2021), inti pelaporan keberlanjutan bukan sekadar daftar aktivitas, melainkan bagaimana strategi bisnis menciptakan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang.

Dinamika Regulasi: Dari Sukarela ke Wajib

Evolusi regulasi pelaporan keberlanjutan kini menuju fase wajib (mandatory disclosure). Hal ini tercermin dari peta inisiatif global yang menunjukkan perkembangan sejak laporan Our Common Future (1987) hingga IFRS S1/S2 pada Juni 2023.

Di tingkat global, dua kerangka besar akan mendominasi masa depan: GRI dan ISSB (IFRS S1/S2).

  • GRI berfokus pada dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, cocok untuk pelaporan publik.
  • ISSB berfokus pada dampak keberlanjutan terhadap kinerja keuangan perusahaan, menjadikannya relevan bagi investor.

Indonesia termasuk negara yang cepat beradaptasi. Selain kebijakan OJK, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menerbitkan PSPK 1 dan PSPK 2 sebagai panduan teknis penerapan IFRS S1/S2. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa pelaporan ESG bukan sekadar kewajiban reputasi, tetapi elemen integral dalam tata kelola bisnis nasional.

Bagi pelaku bisnis, artinya jelas bahwa countdown menuju era keterbukaan sudah dimulai. Perusahaan yang tidak segera menyesuaikan sistem dan strategi risikonya akan tertinggal dari pesaing yang lebih siap mengelola transparansi.

Dari Framework ke Strategi: Menjadikan Laporan ESG sebagai Alat Bisnis

Framework keberlanjutan seperti IFRS S1/S2 atau GRI sebenarnya dirancang bukan hanya untuk memenuhi permintaan regulator, tetapi untuk membantu perusahaan mengubah data menjadi keputusan. Kerangka pelaporan ESG yang baik dapat menjadi driver of strategy bila digunakan dengan pendekatan yang tepat.

Perusahaan perlu memulai dari tiga tahap strategis:

  1. Assess – menilai posisi keberlanjutan saat ini dengan memetakan kekuatan dan risiko utama.
  2. Align – menyelaraskan strategi bisnis dengan kerangka global seperti GRI atau IFRS.
  3. Act – menerjemahkan hasil penilaian ke dalam aksi nyata yang terukur.

Contoh ilustrasi: sebuah perusahaan energi di Indonesia menilai ketergantungannya pada bahan bakar fosil sebagai risiko jangka panjang. Melalui tahap assess dan align, perusahaan tersebut kemudian mengembangkan strategi transisi menuju energi terbarukan. Dampak akhirnya bukan hanya reputasi positif, tetapi juga efisiensi biaya operasional hingga 15% dalam tiga tahun (data internal industri energi, 2023).

Dengan demikian, laporan keberlanjutan dapat menjadi peta arah strategis yaitu alat untuk evaluasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan, bukan sekadar dokumen formalitas tahunan.

Mengubah Insight Menjadi Aksi Nyata

Pelaporan ESG yang efektif tidak berhenti di meja pelapor, tetapi diimplementasikan melalui aksi konkret yang dapat diukur. Perusahaan yang serius menjalankan strategi keberlanjutan biasanya melakukan tiga hal utama:

Pertama, membangun sistem pengumpulan data berbasis teknologi. Platform digital memungkinkan konsolidasi data ESG secara real-time dan mempermudah audit internal.

Kedua, mengembangkan kapasitas sumber daya manusia. Banyak perusahaan kini membentuk ESG committee lintas divisi atau menunjuk chief sustainability officer untuk memastikan keberlanjutan menjadi bagian dari manajemen strategis.

Ketiga, memastikan integrasi ESG ke dalam keputusan bisnis. Misalnya, setiap proyek investasi baru dievaluasi tidak hanya berdasarkan return on investment (ROI), tetapi juga dampak lingkungannya.

Langkah-langkah ini menciptakan loop antara laporan dan tindakan, memastikan data ESG yang dihasilkan bukan sekadar angka, tetapi refleksi nyata dari perubahan budaya organisasi.

Saatnya Bergerak Sebelum Hitungan Mundur Berakhir

Era pelaporan keberlanjutan yang terstandarisasi telah dimulai. Dunia usaha kini tidak lagi diukur hanya dari neraca keuangannya, tetapi juga dari bagaimana ia menciptakan nilai bagi masyarakat dan lingkungan.

Perusahaan yang memandang sustainability report sebagai kewajiban administratif akan tertinggal dari mereka yang menjadikannya instrumen strategis. Dengan memahami kerangka global seperti GRI dan IFRS S1/S2, memperkuat tata kelola data, dan menyelaraskan strategi ESG dengan visi korporasi, perusahaan dapat membangun keunggulan kompetitif jangka panjang.

Hitungan mundur menuju era pelaporan wajib sedang berlangsung dan perusahaan yang siap hari ini akan menjadi pemimpin pasar di masa depan. Laporan keberlanjutan bukan sekadar reporting exercise, tetapi cerminan dari kemampuan perusahaan membaca arah masa depan bisnis yang lebih transparan, inklusif, dan bertanggung jawab.

Glosarium

  • Sustainability Report (Laporan Keberlanjutan)
    Dokumen resmi yang dipublikasikan perusahaan untuk mengungkapkan kinerja dan strategi terkait aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance – ESG), baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
  • ESG (Environmental, Social, and Governance)
    Kerangka yang menilai tanggung jawab dan keberlanjutan perusahaan dalam tiga dimensi utama: dampak terhadap lingkungan, tanggung jawab sosial, serta tata kelola organisasi.
  • GRI (Global Reporting Initiative)
    Standar pelaporan keberlanjutan internasional yang berfokus pada dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. GRI digunakan secara luas untuk pelaporan publik dan transparansi.
  • ISSB (International Sustainability Standards Board)
    Lembaga di bawah IFRS Foundation yang merumuskan standar pelaporan keberlanjutan global, termasuk IFRS S1 dan S2, dengan fokus pada keterkaitan antara kinerja keberlanjutan dan kinerja keuangan perusahaan.
  • IFRS S1 dan IFRS S2
    Dua standar pelaporan yang diterbitkan oleh ISSB pada 2023:
    • IFRS S1: mengatur pengungkapan umum terkait keberlanjutan.
    • IFRS S2: mengatur pengungkapan risiko dan peluang yang terkait dengan perubahan iklim.
  • SASB (Sustainability Accounting Standards Board)
    Standar pelaporan yang menekankan relevansi informasi keberlanjutan terhadap kinerja keuangan dan keputusan investor di berbagai sektor industri.
  • TCFD (Task Force on Climate-related Financial Disclosures)
    Kerangka pelaporan internasional yang menuntut perusahaan mengungkapkan risiko dan peluang finansial yang terkait dengan perubahan iklim, termasuk strategi mitigasi dan adaptasi.
  • OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
    Lembaga pengawas sektor jasa keuangan di Indonesia yang mengatur penerapan keuangan berkelanjutan dan pelaporan ESG melalui regulasi seperti POJK No.51/2017 dan POJK No.17/2023.
  • IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)
    Lembaga profesi yang mengadopsi dan menerbitkan panduan pelaporan keberlanjutan nasional, termasuk Pernyataan Standar Pelaporan Keberlanjutan (PSPK) 1 dan 2 yang merujuk pada IFRS S1 dan S2.
  • PSPK (Pernyataan Standar Pelaporan Keberlanjutan)
    Standar nasional yang dikeluarkan oleh IAI sebagai acuan penerapan IFRS Sustainability Standards di Indonesia, mencakup prinsip dan panduan teknis pelaporan ESG.
  • Materiality (Isu Material)
    Topik atau isu keberlanjutan yang paling relevan dan signifikan terhadap kinerja perusahaan, baik dari perspektif bisnis maupun kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders).
  • Mandatory Disclosure
    Kewajiban hukum atau regulasi bagi perusahaan untuk mengungkapkan informasi tertentu dalam laporan publik, termasuk pelaporan keberlanjutan dan ESG.
  • Countdown Era ESG
    Istilah yang menggambarkan periode transisi menuju penerapan wajib pelaporan keberlanjutan secara global, di mana perusahaan harus menyesuaikan sistem tata kelola dan pelaporan sebelum batas waktu implementasi penuh.
  • Mirror of Strategy
    Konsep bahwa laporan keberlanjutan mencerminkan sejauh mana strategi bisnis selaras dengan prinsip etika, efisiensi, dan transparansi korporasi.
  • Chief Sustainability Officer (CSO)
    Pejabat eksekutif yang bertanggung jawab memastikan strategi keberlanjutan terintegrasi ke dalam visi, operasi, dan keputusan bisnis perusahaan.
  • ESG Committee
    Komite lintas fungsi di dalam organisasi yang dibentuk untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan keberlanjutan perusahaan.
  • Return on Investment (ROI)
    Indikator keuangan yang digunakan untuk mengukur efisiensi dan profitabilitas suatu investasi, kini juga sering dikaitkan dengan dampak sosial dan lingkungan dalam konteks keberlanjutan.
  • Reporting Exercise
    Aktivitas pelaporan formal yang biasanya bersifat administratif; dalam konteks artikel ini, istilah tersebut menegaskan bahwa laporan keberlanjutan seharusnya bukan sekadar formalitas, melainkan alat strategis bisnis.
  • Transparency Framework
    Kerangka tata kelola yang menjamin keterbukaan informasi dan akuntabilitas perusahaan dalam pelaporan keuangan maupun keberlanjutan.

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *