Strategi Komunikasi Keberlanjutan untuk Memperkuat Hubungan Korporasi dengan Pemangku Kepentingan

Perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial telah mendorong lahirnya konsep keberlanjutan (sustainability) dan Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai kerangka penting bagi perusahaan modern. Konsep ini berawal dari krisis lingkungan dan kemiskinan global pada dekade 1970-1980an, yang mendorong dibentuknya Komisi Brundtland. Laporan “Our Common Future” pada 1987 merumuskan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang. Prinsip ini menjadi pijakan bagi dunia usaha untuk mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam strategi bisnis, dengan tujuan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Selama perjalanannya, berbagai peristiwa besar mempertegas urgensi keberlanjutan. Kebocoran pabrik pestisida di Bhopal pada 1984, ledakan reaktor Chernobyl pada 1986, serta pencemaran besar di Sungai Rhine pada tahun yang sama menunjukkan betapa seriusnya risiko lingkungan yang tidak termitigasi. Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan ekosistem yang memerlukan waktu puluhan tahun untuk pulih. Bagi pelaku bisnis, tragedi tersebut menjadi pengingat bahwa kelalaian dalam mengelola risiko lingkungan dapat merusak reputasi dan kelangsungan perusahaan secara permanen.
Memasuki awal 2000-an, ESG muncul sebagai konsep yang lebih terstruktur untuk mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola ke dalam proses pengambilan keputusan. Laporan “Who Cares Wins” pada 2004, yang diprakarsai UN Global Compact, menekankan pentingnya mengidentifikasi risiko dan peluang yang timbul dari isu-isu keberlanjutan. Contoh penerapannya dapat dilihat pada industri otomotif. Produsen yang tidak mengantisipasi regulasi emisi karbon berisiko kehilangan pangsa pasar, sementara perusahaan yang berinvestasi pada kendaraan listrik dapat memperoleh keunggulan kompetitif.
Perbedaan antara laporan keberlanjutan dan laporan ESG terletak pada fokus materialitasnya. Laporan keberlanjutan umumnya menggunakan pendekatan impact materiality, menyoroti dampak signifikan perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat, seperti yang diatur dalam standar Global Reporting Initiative (GRI). Sementara itu, laporan ESG mengutamakan financial materiality, yaitu pengungkapan faktor keberlanjutan yang memengaruhi kinerja keuangan dan menjadi perhatian investor. Saat ini, kedua pendekatan tersebut mulai digabungkan dalam konsep double materiality, yang menggabungkan perspektif dampak dan keuangan. Contohnya, regulasi Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD) di Uni Eropa mendorong perusahaan untuk melaporkan kedua aspek tersebut secara terintegrasi.
Agar keberlanjutan tidak hanya menjadi jargon, perusahaan memerlukan komunikasi strategis yang efektif. Pendekatan ini mencakup empat pilar utama. Pertama, komunikasi dalam inisiatif keberlanjutan, yang dimulai dari identifikasi dampak, penentuan topik material, hingga penyelarasan dengan risiko dan peluang bisnis. Kedua, komunikasi tentang inisiatif keberlanjutan, melalui penyebaran informasi kepada publik internal maupun eksternal, termasuk melalui laporan keberlanjutan. Ketiga, komunikasi untuk keberlanjutan, yang diwujudkan melalui kampanye tematik seperti hemat energi, pengurangan limbah, atau promosi kesehatan kerja. Keempat, komunikasi sebagai inisiatif keberlanjutan, misalnya memilih media promosi yang rendah emisi dan mendukung keberagaman.
Strategi komunikasi keberlanjutan harus dirancang berdasarkan pemetaan pemangku kepentingan. Stakeholder primer meliputi investor, pelanggan, karyawan, dan regulator, sementara stakeholder sekunder mencakup media, komunitas, serta akademisi. Pemahaman ini memungkinkan perusahaan menyesuaikan pesan, saluran, dan intensitas komunikasi agar relevan dengan kepentingan masing-masing kelompok. Sebagai contoh, kampanye pengelolaan limbah tekstil akan memiliki pesan berbeda untuk investor yang fokus pada efisiensi biaya dibandingkan untuk komunitas lokal yang lebih peduli pada dampak lingkungan langsung.
Penyusunan strategi komunikasi keberlanjutan idealnya mengikuti prinsip double materiality. Dampak yang diidentifikasi berdasarkan standar GRI perlu disejajarkan dengan risiko dan peluang finansial sesuai standar IFRS S1. Hasil analisis ini kemudian diterjemahkan menjadi isu strategis yang menjadi dasar perencanaan komunikasi, menggunakan model seperti SOSTAC atau ROSIE. Rencana ini sebaiknya berlaku untuk jangka menengah, yaitu dua hingga tiga tahun, agar perusahaan memiliki waktu cukup untuk mengukur hasil dan menyesuaikan strategi.
Implementasi strategi memerlukan kombinasi taktik berbayar, diperoleh, dibagikan, dan dimiliki (PESO Model). Misalnya, promosi di media massa (paid), liputan positif dari pihak ketiga (earned), kampanye media sosial (shared), serta publikasi melalui kanal resmi perusahaan seperti situs web atau buletin internal (owned). Keberhasilan komunikasi diukur dari tiga tingkat hasil yaitu luaran (jumlah audiens yang terjangkau), dampak langsung (perubahan persepsi dan tingkat perhatian), dan hasil akhir (perubahan perilaku atau peningkatan dukungan terhadap program keberlanjutan).
Contoh penerapan komunikasi keberlanjutan dapat dilihat pada perusahaan energi terbarukan yang meluncurkan proyek pembangkit listrik tenaga surya. Untuk investor, fokus pesan dapat diarahkan pada potensi pengembalian modal dan insentif pajak. Bagi regulator, komunikasi menonjolkan kepatuhan terhadap target pengurangan emisi nasional. Sementara untuk masyarakat, pesan menekankan manfaat sosial seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas udara. Pendekatan berbeda ini memastikan setiap pemangku kepentingan mendapatkan informasi yang relevan dan memotivasi mereka untuk mendukung inisiatif tersebut.
Pada akhirnya, komunikasi keberlanjutan yang efektif bukan hanya memperkuat reputasi, tetapi juga menciptakan nilai bisnis jangka panjang. Perusahaan yang mampu mengelola pesan dengan transparan dan konsisten akan lebih dipercaya, baik oleh investor maupun publik. Lebih jauh lagi, strategi ini membantu perusahaan mengantisipasi regulasi baru, menarik talenta terbaik, dan membangun hubungan jangka panjang dengan komunitas. Dalam iklim bisnis yang semakin kompetitif, kepercayaan dan dukungan pemangku kepentingan menjadi aset yang tak ternilai, dan komunikasi keberlanjutan adalah salah satu kunci utama untuk meraihnya.